Pabrik Kelapa Sawit dapat menghasilkan energi terbarukan dengan tingkat efisiensi yang luar biasa besar timbul dari karakteristik unik dari parameter operasinya.
Pabrik kelapa sawit (PKS) berada pada posisi yang menguntungkan untuk memanfaatkan energi terbarukan dengan efisiensi yang sangat tinggi, potensi yang sebagian besar masih belum direalisasi.
PKS umumnya cenderung fokus pada operasi pengolahan. Pada umumnya perhatian mereka ada pada seputaran mengolah tandan buah segar (TBS) dan rendemen minyak. Namun ada kenyataan baru yang menyatakan bahwa pabrik kelapa sawit dapat beroperasi sebagai pusat efisiensi energi.
PKS menghasilkan sejumlah besar biomassa, yang umumnya dianggap sebagai limbah. Sebagian besar massa TBS yang diangkut dari lapangan diolah di PKS dihasilkan sebagai sisa produksi (biomassa).
Sisa ini mengandung sumber energi terbarukan yang melimpah jika dimanfaatkan dengan efisiensi tinggi. Namun, saat ini potensi energi yang ada pada biomass tersebut belum sepenuhnya dihargai atau dimanfaatkan dengan cara yang tepat. Pemanfaratan energi terbarukan secara optimal dapat mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) produksi minyak kelapa sawit, dan juga jejak karbonnya.
Cara yang paling efisien memanfaatkan biomassa untuk energi adalah berdasarkan prinsip kogenerasi. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah Gabungan Panas dan Daya (Combined Heat and Power, CHP) dimana sisa panas dari proses pembangkit daya dimanfaatkan kembali sebagai panas yang berguna untuk proses hilir. Hal ini memungkinkan penggunaan input bahan bakar yang lebih efisien untuk mencapai efisiensi konversi energi yang tinggi dan dengan itu memaksimalkan pengurangan emisi karbon.
PKS, pada dasarnya, telah menggunakan prinsip kogenerasi sejak lama dan sekarang sebagian besar PKS dapat memenuhi swasembada energi, namun potensi energi biomassa belum dimanfaatkan secara optimal. Pabrik terus menjalankan proses yang mana pada saat itu tidak dirancang pada kesadaran adanya energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan.
Namun kini, metode dan sistem yang inovatif telah tersedia untuk melepaskan potensi energi terbarukan ini yang mampu meningkatkan efisiensi energi di pabrik. Sebuah pendekatan baru melibatkan menangani empat masalah, yaitu, tingginya fluktuasi penggunaan uap pada proses, konsumsi uap yang tinggi untuk pemanasan proses, relatif tingginya suhu uap proses dan rendahnya rasio antara daya dan panas pada kogenerasi.
Salah satu masalah utama di PKS saat ini adalah permintaan uap proses berfluktuasi dengan cepat, yang berasal dari sterilisasi TBS sebagai akibat dari proses yang tidak kontinu. Hal ini menyebabkan operasi stasiun pembangkit (CHP) menjadi tidak stabil dan mengakibatkan terjadinya pembuangan steam ke atmosfer. Hal ini tentu membuang sejumlah besar energi. Sebuah metode yang sederhana kini tersedia untuk mengatasi fluktuasi penggunaan uap pada proses ekstraksi minyak sawit. Metode ini dapat digunakan untuk mengurangi fluktuasi penggunaan uap yang dapat mempengaruhi turbin uap di stasiun pembangkit (CHP), sehingga memungkinkan sistem beroperasi pada kondisi yang stabil dan efisien.
Konsumsi uap yang digunakan pada proses ekstraksi CPO saat ini berlebihan pada stasiun perebusan. Proses awal dalam ekstraksi minyak sawit diawali dengan pemanasan TBS di dalam steriliser besar yang mengkonsumsi sebagian besar uap proses. Karena pembuanganan udara dari steriliser tidak efisien saat ini, susunan TBS yang bertumpuk di dalam steriliser tidak dapat dipenetrasi oleh uap untuk mencapai suhu yang cukup dan seragam. Masalah kekurangnya pembuangan udara ini menimbulkan penggunaan uap proses sangat tidak efisien dan menyebabkan konsumsi yang tinggi. Inovasi memungkinkan untuk menghilangkan udara secara efisien dari dalam steriliser di bagian paling awal dari siklus sterilisasi. Hal ini memungkinkan proses perebusan yang baik dengan waktu yang lebih singkat, penggunaan uap proses pada suhu yang lebih rendah dan konsumsi uap lebih rendah, yang semuanya diterjemahkan ke dalam peningkatan drastis dalam efisiensi energi.
Saat ini temperatur uap untuk perebusan diatur pada 143 ºC pada 4 bar tekanan. Namun sesungguhnya, proses ekstraksi minyak kelapa sawit hanya membutuhkan suhu tidak lebih dari 110 ºC. Oleh karena itu, penggunaan suhu uap saat ini harus dipertanyakan. Dengan meningkatkan perpindahan panas ke berbagai proses, maka suhu uap yang dibutuhkan dapat diturunkan mendekati 110 ºC, yang dapat meningkatkan keluaran daya oleh stasiun pembangkit (CHP) dan mencapai efisiensi energy yang lebih tinggi dari biomassa.
Dewasa ini stasiun pembangkit (CHP) masih digunakan dengan keluaran daya rendah untuk mengkompensasi rendahnya rasio antara daya dan panas (Power-to-Heat Ratio) di pabrik. Namun, dengan menggunakan temperatur uap yang rendah untuk proses ekstraksi minyak sawit memungkinkan bahwa stasiun pembangkit (CHP) menghasilkan keluaran daya yang lebih tinggi jika fluktuasi penggunaan uap saat ini dapat diatasi. Pencapaian kondisi operasi stasiun pembangkit (CHP) yang baik seperti yang diusulkan di atas, membuka jalan untuk menghasilkan tenaga tambahan yang besar sepadan dengan kebutuhan panas di pabrik untuk mengoptimalkan penggunaan energi di pabrik. Namun potensi ini hanya dapat diwujudkan di lokasi-lokasi di mana daya tambahan dapat digunakan di luar pabrik dan didistribusikan ke jaringan untuk penggunaan lain. Kurangnya fasilitas penggunaan listrik di luar pabrik menjadi batasan untuk mencapai potensi konversi energi yang optimal dari stasiun pembangkit (CHP) di pabrik.
Ada kesalahpahaman dalam industri kelapa sawit bahwa pabrik tidak perlu menghasilkan energi yang efisien dengan membangkitkan daya listrik tambahan (melalui CHP dengan menggunakan sisa biomassa yang ada) jika tidak ada fasilitas lain berdekatan yang dapat menggunakan energi panas yang dihasilakan. Sebaliknya, rendahnya rasio antara daya dan panas memberikan kesempatan untuk menghasilkan lebih banyak daya, memaksimalkan efisiensi konversi energi, terlepas dari ada tidaknya pengguna panas di luar pabrik. Dengan kata lain, lebih banyak daya listrik dapat dihasilkan dari jumlah uap yang sama yang mengalir melalui turbin uap.
Pembangkit daya (CHP) di pabrik hanya perlu dikonfigurasi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan panas yang dapat digunakan pabrik seefisien mungkin, sedangkan sisa biomassa dapat digunakan untuk stasiun pembangkit (CHP) di tempat lain di luar pabrik, di mana pun ada pengguna energi panas. Praktek operasi tersebut tidak akan mengakibatkan kerugian energi atau potensi pengurangan emisi karbon dalam pemanfaatan biomassa. Yang penting untuk pengurangan emisi karbon adalah efisienysi tinggi dari penggunaan energi di pabrik, bukannya jumlah energi terbarukan yang dihasilkan di pabrik.
Jika pendekatan inovatif di atas diimplementasikan dalam sebuah pabrik kelapa sawit, itu bisa menggambarkan bahwa sesungguhnya pabrik kelapa sawit dapat dikonversi menjadi pusat efisiensi energi dengan melepaskan potensi tersembunyi yang dimiliknya.
Aliran pendapatan tambahan dari penjualan listrik dan bahan bakar biomassa dapat mewakili kenaikan pendapatan yang siqnifikan untuk pabrik disbanding dengan harga energi saat ini. Yang mengejutkan adalah bahwa inovasi ini dapat memperbaiki lingkungan yang sekaligus meningkatkan keuntungan.
One reply on “Merekayasa ulang Pabrik Kelapa Sawit Menjadi Pusat Efisiensi Energi”
Terimakasih atas ilmu yang di berikan …sangat bagus dan bermanfaat…semoga Allah Tuhan Yang Maha Esa memberikan hidayah untuk terus berkarya dan beramal…..amin…salam